Taat Kepada Suami .
Rasulullah saw. bersabda,
"Seandainya
aku diperbolehkan untuk memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada
selain Allah, sungguh akan kuperintahkan wanita untuk bersujud kepada
suaminya. Demi Dzat Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, tidaklah
seorang wanita bisa menunaikan hak-hak Allah sebelum ia menunaikan
hak-hak suaminya seluruhnya, sehingga seandainya suaminya meminta
dirinya dan ia berada di atas pelana kendaraan, ia tidak boleh
menolaknya." (Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).
Allah berfirman, "Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita." (An-Nisa: 34).
Wanita
shalihah meyakini dan menerima dengan penuh kerelaan bahwa suaminya
adalah pemimpin dalam rumah tangganya. Dan ia berkedudukan di bawah
suaminya, sehingga ia mempunyai tanggung jawab untuk mentaatinya, karena
keshalihan selalu berhubungan dengan ketaatan. Tidak bisa seseorang
dikatakan shalih, jika ia tidak mempunyai ketaatan. Orang yang tidak
taat adalah orang yang bermaksiat. Dan orang yang taat adalah orang yang
shalih, sebagaimana firman Allah,
"Adapun
orang-orang shalihah, adalah qanitat (orangyang taat), dan hafizhat
(orang yang menjaga diri) saat suami tiada dengan sebab penjagaan Allah
atasnya." (An-Nisa: 34).
Dalam
Huququl Mar'ah dikatakan, bahwa istri yang tidak mentaati suami berarti
telah bermaksiat kepada suaminya. Dan istri yang bermaksiat kepada suami
berarti telah bermaksiat kepada Rasul-Nya. Dan siapa yang bermaksiat
kepada Rasul-Nya, berarti telah bermaksiat kepada Allah. Dengan
demikian, wajar jika malaikat mendo'akan laknat kepada wanita yang tidak
mentaati suaminya.
Imam Nawawi
rah. a. menulis, bahwa sebaiknya para istri mengetahui bahwa dirinya
adalah milik suami, sebagaimana tawanan lemah yang tidak berdaya di
hadapan suami. Selalu tunduk dan taat kepada suami, sehingga alim ulama
berpendapat bahwa dalam segala perbuatan, istri hendaknya senantiasa
dengan izin suami. Dan istri hendakriya merasa malu terhadap suami,
tidak menentangnya, menundukkan pandangannya di hadapan suami,
merendahkan suaranya, taat kepadanya dalam setiap perintah yang
diberikan olehnya kecuali untuk kemaksiatan, diam ketika suami
berbicara, mengantarkannya ketika keluar rumah, menjemputnya dengan
bermuka manis ketika datang, menunjukkan cinta kasih kepadanya,
mencumbunya ketika tidur, memakai harum-haruman ketika menemaninya,
membiasakan berhias di hadapannya dan tidak berhias ketika ditinggal
suami.
Ketaatan kepada suami
adalah mutlak, sebagaimana nasehat Ibnul Jauzi rah.a., bahwa ketaatan
seorang wanita kepada suami adalah wajib. Namun ketaatan wajib ini
terbatas hal-hal yang dihalalkan bukan yang diharamkan, misalnya,
mengajak bersetubuh pada waktu haidh, pada siang bulan Ramadhan,
mengajak tidak shalat dan lain sebagainya. Allah tidak memperkenankan
seseorang mentaati makhluk dalam hal-hal yang jelas bertentangan dengan
perintah-Nya. Syaikh Abdul Halim Hamid menambahkan, seperti berdandan
dengan dandanan Jahiliyah, serta ikut berkumpul dalam majelis yang
bercampur antara pria dan wanita, maka seorang istri tidak wajib untuk
mentaati suaminya dalam hal-hal tersebut di atas. Selanjutnya beliau
menulis, bahwa seorang wanita shalihah hendaknya berhati-hati agar
kekurangan yang ada pada diri suaminya tidak menyebabkan dirinya suka
membantah perintah suaminya, baik kekurangan dalam segi harta, ilmu,
kedudukan, maupun keturunannya. Terutama apabila sang istri memiliki
kelebihan-kelebihan tersebut daripada suaminya, seyogyanya seorang istri
bertaqwa kepada Rabbnya untuk tetap beristiqamah dalam batasan-batasan
syariat-Nya semata mencari ridha Allah dan bukan ridha yang lainnya.
Ada
sebuah hikayat, bahwa pada masa Nabi saw., ada seorang lelaki berangkat
untuk berperang, ia berpesan kepada istrinya, "Istriku, jangan
sekali-kali engkau keluar dari rumah ini hingga aku datang." Kebetulan
ayahnya menderita sakit, maka perempuan itu mengutus seorang lelaki
kepada Nabi saw. untuk bertanya apa yang seharusnya ia lakukan. Nabi
saw. bersabda kepada utusan tersebut agar ia mentaati suaminya. Demikian
perempuan itu menyuruh utusannya tidak hanya sekali. Dan dia pun tetap
mentaati suaminya dan tidak berani keluar dari rumahnya. Hingga ayahnya
meninggal dunia, sedang dia tetap tidak mengetahui mayat ayahnya. Dia
tetap sabar, hingga suaminya kembali. Allah memberi wahyu kepada Nabi
saw,, "Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa orangtua perempuan itu
karena ketaatannya (istri) kepada suaminya."
Oleh
sebab itu, jangan sekali-kali istri mencari-cari kelemahan suami yang
akan mempengaruhi ketaatannya kepada suami. Jika dicari kelemahan itu,
pasti akan mendapatkannya. Namun hal itu akan mempercepat kehancuran
rumah tangganya sendiri. Jika kelemahan itu akhimya terlihat juga oleh
mata kita, maka tugas seorang wanita shalihah adalah memperbaikinya
dengan cara yang bijaksana tanpa mengurangi rasa hormat dan ketaatannya
kepada suami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar