Jumat, 22 Juni 2012

::AT TATARRUS:::


Oleh karena menyerang musuh dengan tanpa menggunakan pelindung itu adalah sebuah sarana yang terpuji yang mengakibatkan diri sendiri terbunuh, maka ‘amaliyyah istisyhaadiyyah adalah suatu bentuk lain yang terpuji jika syarat niatnya terpenuhi, karena menjadi orang yang menjadi penyebab pembunuhan itu sama hukumnya dengan membunuh menurut pendapat mayoritas ulama’, sebagaimana yang akan kami jelaskan, insya Alloh.



Permasalahan at tatarrus yang diperbolehkan oleh para ulama’ ini mirip dengan masalah ‘amaliyyah istisyhaadiyyah, akan tetapi di sana ada perbedaan yang akan kami jelaskan nanti, karena barang siapa memperbolehkan membunuh orang-orang Islam yang dijadikan perisai (dalam kasus at tatarrus), tidak diragukan lagi ia pasti memperbolehkan membunuh diri sendiri dengan cara ‘amaliyyah istisyhaadiyyah apabila di sana terdapat kemaslahatan untuk diin (agama). Karena membunuh orang muslim itu sama haramnya dengan membunuh diri sendiri, bahkan membunuh orang lain itu lebih besar dosanya dan ia termasuk dosa besar. Al Qurthubiy di dalam tafsirnya X/183 mengatakan: Para ulama’ telah berijma’ bahwasanya barangsiapa dipaksa untuk membunuh orang lain, ia tidak boleh melakukannya dan juga tidak boleh menodai kehormatannya, jika ancaman yang digunakan untuk mengancamnya itu berupa dicambuk atau yang lainnya, dan hendaknya dia bersabar terhadap cobaan yang menimpa dirinya, dan tidak halal baginya mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan dirinya, dan hendaknya dia memohon kepada Alloh keselamatan di dunia dan akherat.




Maka barangsiapa memperbolehkan membunuh seorang muslim untuk kemaslahatan, ia juga harus memperbolehkan membunuh diri sendiri untuk kemaslahatan, tidak sebagaimana hukum asalnya (yaitu haramnya bunuh diri-penerj.). Namun para fuqoha’ belum membahas ‘amaliyyah istisyhaadiyyah dalam bentuk yang ada pada saat sekarang yang telah kami sampaikan definisinya diawal kajian. Karena cara dan bentuk peperangan itu terus berubah dan berkembang.




Sedangkan perbedaan yang harus diakui dan digunakan untuk memahami perkataan salaf yang memperbolehkan membunuh orang-orang yang dijadikan perisai (dalam kasus at tatarrus) adalah bahwasanya salaf itu memperbolehkan membunuh orang yang dijadikan perisai pada saat dloruuroh (keadaan yang mendesak), adapun diperbolehkannya ‘amaliyyah istisyhaadiyyah tidak harus adanya kebutuhan yang sangat mendesak sebagaimana pada kasus at tatarrus. Karena dua kasus tersebut pada satu sisi serupa tapi pada sisi yang lain berbeda. Karena membunuh orang lain itu sama sekali tidak ada dalil yang memperbolehkannya. Akan tetapi yang menjadi alasan adalah kemaslahatan umum itu lebih diutamakan dari pada kemaslahatan orang-orang tertentu. Sedangkan di dalam kaidah disebutkan bahwa keadaan yang mendesak itu menjadikan sesuatu yang pada asalnya dilarang untuk dilakukan menjadi boleh dilakukan, dan juga dalam kaidah lainnya dikatakan bahwa jika dua kerusakan itu saling berbenturan maka diambil kerusakan yang paling ringan.




Namun diperbolehkannya ‘amaliyyah istisyhaadiyyah itu tidak membutuhkan kepada kaidah-kaidah umum seperti kaidah ketika ada berbagai kerusakan yang saling berbenturan atau diperbolehkannya ketika dalam keadaan dloruuroh (mendesak), karena kami mempunyai landasan dalil yang menganjurkan untuk menyerang musuh dan yang memuji orang yang menceburkan diri ke dalam barisan musuh meskipun diyakini akan mengakibatkan kematian, dengan syarat hendaknya niatnya ikhlas untuk meninggikan kaliamatulloh. Inilah perbedaan antara dua kasus tersebut, kasus yang pertama (yaitu dalam kasus at tatarrus-penerj.) dilarang dan diperbolehkan hanya ketika dloruuroh (ada kebutuhan yang mendesak), sedangkan kasus yang kedua (yaitu kasus ‘amaliyyah istisyhaadiyyah-penerj.) tidak dilarang bahkan dianjurkan. Dan orang yang memperbolehkan perbuatan yang diharamkan, yaitu membunuh orang Islam sedangkan dia tidak membawakan dalil yang memperbolehkan perbuatannya, maka tidak diragukan lagi ia pasti akan memperbolehkan perbuatan yang sama dengan perbuatan tersebut yang asalnya lebih ringan pengharamannya, yang mana ada dalil-dalil yang memperbolehkan bahkan menganjurkan dan memerintahkan serta memuji pelakunya.



Camkanlah perbedaan ini wahai saudaraku yang mulia. Karena sesuatu yang diperbolehkan dengan alasan dluruuroh (adanya keperluan yang mendesak) itu tidak sama dengan sesuatu yang diperbolehkan dengan alasan kemaslahatan. Dan untuk mengatakan diperbolehkan membunuh orang yang dijadikan perisai (dalam kasus at tatarrus) itu lebih sulit dari pada mengatakan diperbolehkannya membunuh diri sendiri, karena pada kasus yang terakhir ini (yaitu pada kasus ‘amaliyyah istisyhaadiyyah) ada dalil-dalil yang menunjukkan atas diperbolehkannya.



Sisi kesamaan antara dua kasus tersebut adalah keduanya sama-sama menghilangkan nyawa orang Islam, maka barangsiapa mengeluarkan kasus at tatarrus dari hukum asalnya yaitu haram lantaran suatu sebab tertentu, maka tidak diragukan lagi kasus menceburkan diri ke dalam barisan musuh dan kasus ‘amaliyyah istisyhaadiyyah juga mempunyai dasar syar’iy yang dapat mengeluarkannya dari hukum asalnya, yaitu haramnya melakukan bunuh diri, bahkan memuji pelakunya dan ia disebut mati syahid, hal ini jika seandainya dikatakan bahwa aksi semacam ini tidak ada dalilnya.



Adapun definisi At Tatarrus adalah sebagai berikut; Dikatakan di dalam Mukhtaarush Shihaah, hal. 63: At Tatarrus adalah melindungi diri dengan perisai. Sedangkan di dalam Al Mishbaahul Muniir, hal. 43 dikatakan: At Tirsu sudah kita pahami bersama .. ber-tatarrus dengan sesuatu artinya adalah menjadikannya seperti At Tirsu (perisai), dan melindungi diri dengannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan At Tirsu di dalam pembahasan ini adalah: Musuh menjadikan beberapa orang sebagai perisai untuk melindungi diri dengan mereka, karena musuh tahu bahwa dengan menjadikan orang-orang tertentu sebagai perisai, lawan tidak akan berani menyerang karena ingin melindungi orang-orang yang dijadikan perisai tersebut.




Di antara bentuknya yang digunakan pada masa sekarang untuk tujuan ini adalah yang disebut dengan perisai hidup, atau yang disebut dengan sandera perang, yaitu dengan cara sebuah negara menawan rakyat negara lawannya lalu menempatkan mereka dalam sarana-sarana fital, tempat-tempat strategi, kementerian-kementerian dan lain-lain, dengan begitu mareka menjadi tumbal serangan lawan, sehingga lawan akan menahan diri untuk tidak menyerang sarana-sarana fital tersebut, karena ingin melindungi nyawa rakyatnya.



Adapun pasukan kaum muslimin, dalam kasus ini mereka tidak hanya menahan diri tidak membunuh orang yang dijadikan perisai dari kalangan orang-orang Islam saja. Akan tetapi sesungguhnya tentara Islam itu juga diperintahkan untuk tidak membunuh orang-orang kafir yang ma’shuumud dam (tidak boleh dibunuh), seperti perempuan, anak-anak dan orang tua. Maka seandainya orang-orang kafir menjadikan rakyat mereka yang ma’shuumud dam (tidak boleh dibunuh), seperti perempuan, anak-anak, orang tua dan ahludz dzimmah sebagai perisai, maka sesungguhnya tentara Islam itu diperintahkan untuk menahan diri agar tidak menyerang mereka kecuali jika hal itu membahayakan kaum muslimin, dalam keadaan seperti itu kemaslahatan menuntut untuk diperbolehkannya hal itu. Dan jika yang dijadikan perisai itu orang-orang Islam maka larangannya lebih keras lagi sehingga tidak diperbolehkan menyerang musuh yang berlindung dengan perisai yang berupa orang-orang Islam kecuali dloruuroh (ada kebutuhan yang mendesak). Dengan demikian kita dapat perinci, bahwasanya jika yang dijadikan perisai itu orang-orang yang kafir yang ma’shuumud dam (tidak boleh dibunuh) maka tidak boleh menyerang mereka kecuali ada kemaslahatan, namun jika yang dijadikan perisai itu adalah orang-orang Islam maka mereka tidak boleh diserang kecuali dloruuroh (ada kebutuhan yang mendesak).



Perbedaan antara keduanya ini diterangkan secara jelas di dalam hadits yang terdapat di dalam Shohiih Al Bukhooriy dan Shohiih Muslim yang diriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Abbaas, ia dari Ash Sho’b bin Jutsaamah ra, ia berkata: Nabi SAW melewatiku di Al Abwaa’ atau di Wadaan, dan beliau ditanya tentang penduduk sebuah negeri orang-orang musyrik yang disergap pada malam hari sehingga kaum wanita dan anak-anak mereka ikut terkena, beliau menjawab:
هُمْ مِنْهُمْ
Mereka (perempuan dan anak-anak itu) termasuk golongan mereka.
Dan mayoritas ulama’ berpendapat bahwasanya kaum wanita dan anak-anak orang kafir itu tidak boleh secara sengaja dibunuh, akan tetapi jika bapak-bapak mereka tidak dapat dibunuh kecuali dengan mengenai mereka, maka diperbolehkan. Dan tatkala Rosul SAW memperbolehkan hal itu kepada para sahabat, beliau tidak menetapkan patokan-patokan lain yang menunjukkan bahwa hal itu (yakni penyergapan yang akan mengakibatkan terbunuhnya anak-anak, kaum wanita kafir dan orang-orang kafir lainnya yang tidak boleh dibunuh-penerj.) hanya diperbolehkan ketika dloruuroh (dalam keadaan terpaksa), akan tetapi kebutuhan kaum muslimin untuk melakukan penyergapan terhadap orang-orang kafir pada malam hari itu saja sudah cukup untuk dijadikan alasan diperbolehkannya penyergapan, meskipun Rosululloh SAW sendiri di dalam peperangan-peperangan yang beliau lakukan tidak melakukan penyergapan kecuali setelah terbit fajar, lalu jika beliau mendengar suara adzan beliau urungkan dan jika tidak maka beliau sergap. Dari situ dapat dipahami bahwasanya bisa saja Rosululloh SAW tidak menyergap pada malam hari karena bisa menyebabkan terbunuhnya wanita dan anak-anak, sehingga beliaupun melakukan penyerangan pada siang hari, namun demikian suatu kemaslahatan itu dapat dijadikan alasan diperbolehkannya penyergapan.



Adapun jika yang dijadikan perisai itu adalah orang-orang Islam, maka hal itu tidak diperbolehkan sama sekali kecuali jika hal itu tidak dilakukan akan membahayakan kaum muslimin dan mujahidin secara umum, yang mana jika orang-orang kafir itu tidak diperangi nyawa kaum muslimin terancam. Oleh karena itu orang Islam yang melakukannya mendapat pahala sedangkan yang terbunuh akan dibangkitkan Alloh sesuai dengan niatnya.



Dan yang dimaksud dengan dloruuroh (kebutuhan yang mendesak), yang dapat menjadi alasan diperbolehkannya menyerang orang-orang kafir meskipun mereka menjadikan orang-orang Islam sebagai perisai, adalah: jika musuh akan menyerang kaum muslimin lalu mereka membunuh orang Islam lebih banyak dari pada jumlah orang-orang yang dijadikan perisai, atau mereka menjajah dan memasuki wilayah kaum muslimin, atau dikhawatirkan kaum muslimin akan terkepung dan ditumpas habis atau terkalahkan jika mereka tidak menyerang orang-orang kafir lantaran ada orang-orang Islam yang dijadikan perisai. Dan yang menentukan keadaan dloruuroh ini adalah amiirul muslimiin yang ada ketika itu atau orang yang mempunyai wewenang untuk memulai peperangan atau menghentikannya, karena dia melihat dan mengetahui apa yang tidak diketahui setiap personalnya atau orang yang jauh dari medan perang, karena orang yang hanya mendengar berita itu tidak sama dengan orang yang melihat langsung.



Asy Syaukaaniy di dalam Fat-hul Qodiir V/447, Ad Dasuuqiy II/178, penulis Mughnil Muhtaaj IV/244 dan Ibnu Qudaamah X/505, mereka semua menukil pendapat jumhuur (mayoritas ulama’) yang menyatakan wajibnya memerangi musuh jika dalam keadaan dloruuroh (kebutuhan yang mendesak), meskipun hal itu akan mengakibatkan binasanya orang-orang yang dijadikan perisai oleh musuh. Sedangkan penulis Mughnil Muhtaaj menyebutkan dua syarat untuk melakukan hal itu:
1- Hendaknya para mujahidin berusaha semaksimal mungkin agar tidak mengenai orang-orang yang dijadikan perisai, kecuali jika serangan yang mengenai mereka itu lantaran tidak sengaja atau dloruuroh,
2- Tidak ada maksud dalam hati untuk menyerang orang-orang yang dijadikan perisai oleh musuh tersebut, meskipun secara lahir ada maksud untuk mengenainya lantaran dloruuroh.



Ibnun Nuhaas di dalam Masyaari’ul Asywaaq II/1029 mengatakan: “Jika orang-orang kafir menjadikan tawanan dan anak-anak kaum muslimin sebagai perisai di dalam benteng mereka, maka jika kita tidak dalam keadaan dloruuroh (ada kebutuhan yang mendesak) untuk menyerang mereka, kita tinggalkan mereka demi menjaga kaum muslimin (yang dijadikan perisai), namun jika sebaliknya, kita dalam keadaan dloruuroh (ada keperluan yang mendesak) yang mengharuskan untuk melakukan hal itu, dan jika kita menahan diri untuk tidak menyerang mereka, mereka akan menguasai kita, atau mereka akan banyak menimbulkan kerugian, atau benteng mereka tidak dapat dikuasai, maka dalam keadaan seperti itu diperbolehkan melakukan penyerangan menurut pendapat yang paling kuat. Namun hendaknya sebisa mungkin untuk menjaga nyawa orang Islam. Ini adalah madzhab Asy Syafi’iy dan Ahmad, sementara Abu Haniifah memperbolehkan melempar mereka secara mutlaq --- maksudnya adalah tanpa ada dloruuroh (kebutuhan yang mendesak) --- dengan manjaniq, tombak dan lain-lain, dengan syarat harus menghindari nyawa orang Islam semaksimal mungkin. Contohnya dalam hal ini adalah jika mereka menjadikan orang-orang Islam sebagai perisai di dalam sebuah kapal atau yang lainnya, walloohu ‘alam.



Syaikhul Islam di dalam Majmuu’ul Fataawaa X/376 mengatakan: “Jika orang-orang kafir menjadikan orang-orang Islam sebagai perisai, padahal bahaya yang ditimbulkan orang-orang kafir tidak dapat dihindari kecuali dengan diperangi, maka (harus diketahui bahwasanya) hukuman-hukuman syar’iy yang dilaksanakan di dunia itu terkadang mengenai orang yang mana jika di akherat dia tidak menerimanya, sehingga bagi orang tersebut hukuman yang menimpa dirinya itu dinilai sebagai musibah. Sedangkan sebagian (ulama’) yang lain mengatakan yang membunuh adalah mujahid sementara yang dibunuh adalah syahid.”
Adapun mayoritas dari kalangan madzhab Hanafiy, Maalikiy dan Imam Ats Tsauriy lebih memperlongar masalah ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam Fat-hul Qodiir V/448, Ahkaamul Qur-aan karangan Al Jash-shoosh V/273 dan Manhul Jaliil III/151, mereka memperbolehkan menyerang musuh ketika mereka menjadikan orang-orang Islam sebagai perisai meskipun hal itu mengakibatkan terbunuhnya orang-orang Islam (yang dijadikan perisai tersebut), sama saja apakah mereka tahu bahwasanya jika mereka menahan diri untuk tidak menyerang kaum muslimin akan kalah ataukah tidak, dan sama saja apakah jika menahan diri untuk tidak menyerang akan menimbulkan bahaya atau tidak. Alasan mereka dalam hal ini adalah bahwasanya jika kaum muslimin menahan diri untuk tidak menyerang setiap orang yang menjadikan orang-orang Islam sebagai perisai, tentu jihad akan terhenti.


Pendapat ini jelas lemah, karena harga darah seorang muslim itu lebih mahal untuk dikorbankan dengan alasan yang tidak bisa diterima seperti ini. Dan mereka tidak mesti menghentikan jihad lantaran orang-orang kafir menjadikan orang-orang Islam sebagai perisai. Karena tak tik perang itu banyak sehingga tidak mungkin orang-orang kafir dapat menghalanginya hanya dengan tatarrus. Dan perlu diketahui bahwasanya tatarrus itu tidak dilakukan disetiap front, titik-titik dan sarana-sarana fital musuh.


Adapun jika yang dijadikan perisai oleh musuh itu adalah kaum wanita, anak-anak dan orang-orang tua kafir, serta orang-orang yang ma’shuumud dam (tidak boleh dibunuh) lainnya, sedangkan tidak ada maksud untuk membunuh mereka, maka dalam kasus ini penulis As Sairul Kabiir IV/1554, penulis Mughnil Muhtaaj IV/224 dan Ibnu Qudaamah di dalam Al Mughniy X/504, mereka mengatakan bahwasanya mayoritas kalangan madzhab Hanafiy, Syaafi’iy dan Hambaliy memperbolehkan membunuh mereka meskipun tidak ada kepentingan yang mendesak (dloruurah) untuk membunuh mereka, dan meskipun tidak menimbulkan bahaya terhadap kaum muslimin berupa terhentinya perang.



Namun dalam hal ini madzhab Maalikiy tidak sependapat, sebagaimana yang disebutkan di dalam Asy Syarhul Kabiir karangan Ad Dardiir II/178 dan Manhul Jaliil III/150, padahal mereka memperbolehkan memerangi orang-orang kafir tatkala mereka menjadikan orang-orang Islam sebagai perisai, meskipun tidak ada kepentingan yang mendesak (dloruuroh), dan meskipun hal itu mengakibatkan terbunuhnya orang-orang Islam yang dijadikan perisai. Ini adalah pendapat kontradiktif yang sangat aneh, dan dalam hal ini mereka mempunyai alasan yang tidak perlu kami terlalu memperpanjang pembahasan dengan menukilnya.

PENDAPAT MAYORITAS ULAMA’ MENGENAI ORANG YANG MEMBANTU PEMBUNUHAN:

Menceburkan diri ke dalam barisan musuh dengan suatu cara yang tidak menyisakan adanya harapan selamat padanya merupakan suatu aksi yang jelas-jelas menyebabkan musuh membunuh dirinya, padahal orang yang menjadi penyebab terbunuhnya seseorang itu sama hukumnya dengan orang yang melakukan pembunuhan secara langsung. Sebagaimana halnya orang yang menjadi penyebab terbunuhnya orang lain sama hukumnya dengan orang yang membunuhnya secara langsung. Sampai-sampai mayoritas ulama’ dari madzhab Maalikiy, Syaafi’iy dan Hambaliy menjatuhkan hukum qishoosh terhadap orang yang mempunyai andil dalam pembunuhan seseorang, sama halnya dengan orang yang melakukan pembunuhan secara langsung. Namun dalam hal ini madzhab Hanafiy tidak sependapat.
Al Bukhooriy meriwayatkan di dalam Kitaabud Diyaat, dari Ibnu ‘Umar ra, ia berkata: Ada seorang pemuda yang dibunuh dengan cara disergap, maka ‘Umar mengatakan: Seandainya seluruh penduduk Shon’aa’ mempunyai andil dalam pembunuhannya pasti akan aku bunuh mereka semua.



Ibnu Abiy Syaibah di dalam Mushonnaf nya V/429 mengatakan: Dari Sa’iid bin Wahab, ia berkaa: Ada beberapa orang mekakukan bepergian, lalu ada seseorang yang meneyertai mereka mereka tinggalkan. Sa’iid berkata: Maka keluarganya menuduh orang-orang tersebut (telah membunuhnya). Oleh karena itu Syuroih mengatakan: Datangkanlah saksi kalian yang mau dapat memberikan kesaksian bahwasanya mereka telah membunuh kawan kalian, dan jika tidak maka hendaknya mereka bersumpah atas nama Alloh bahwa mereka tidak membunuhnya. Maka merekapun mendatangkan ‘Aliy yang ketika itu aku berada di sisinya, lalu ia memisahkan mereka sehingga merekapun mengaku. Lalu aku mendengar ‘Aliy berkata: Aku adalah ayah dari Al Hasan yang agung, maka diperintahkanlah agar mereka dibunuh.



Ia juga meriwayatkan di dalam Mushonnaf nya V/429, ia mengatakan: Abu Bakar telah bercerita kepada kami, ia mengatakan: Muhammad bin Bakar telah bercerita kepada kami, ia dari Ibnu Juroij, ia berkata: Aku telah mendengar Sulaimaan bin Musa mengatakan mengenai orang-orang yang menunjukkan kepada seseorang (yang terbunuh): Mereka semua dibunuh sebagai qishoosh atas orang yang dibunuh tersebut.
Ia juga meriwayatkan di dalam Mushonnaf nya V/429, ia berkata: Abu Bakar telah bercerita kepada kami, ia mengatakan: Abu Mu’aawiyah telah bercerita kepada kami, ia dari Mujaalid, ia dari Asy Sya’biy, ia dari Al Mughiiroh bin Syu’bah, bahwasanya ia membunuh tujuh orang lantaran mereka membunuh satu orang.
Ash Shon’aaniy di dalam Subulus Salaam III/493 mengatakan: “Maalik, An Nakh’iy dan Ibnu Abiy Lailaa berpendapat bahwasanya mereka semua dibunuh jika mereka ikut serta dalam membunuhnya.” Iaberkata: “Dan ini adalah pendapat mayoritas fuqoha’ di berbagai daerah, dan dalam suatu riwayat disebutkan bahwasanya ini adalah pendapat ‘Aliy ra dan yang lainnya.” Kemudian ia menyebutkan berbagai pendapat lainnya, lalu mengatakan: “Dan pendapat yang kuat menurut kami adalah bahwasanya sekelompok orang itu harus dibunuh jika mereka berkerja sama dalam membunuh satu orang, dan kami telah memaparkan dalilnya di dalam catatan kaki Dlou-un Nahaar dan di dalam lampiran kami terhadap Al Abhaats Al Musaddadah.
Asy Syaukaaniy di dalam As Sailul Jarroor IV/397 mengatakan: “Perkataanya --- maksudnya adalah perkataan penulis matan --- yang berbunyi [… dan sekelompok orang (dibunuh) lantaran (membunuh) satu orang ..], saya katakan; kita telah tahu bersama hikmah dari disyariatkannya qishoosh di anatara manusia, yaitu untuk menjaga keberlangsungan hidup, sebagaimana yang difirmankan Alloh SWT:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
Dan bagi kalian di dalam hukum qishosh itu terdapat kehidupan.


Seandainya sekelompok orang yang bersepakat untuk membunuh satu orang itu tidak dapat dijatuhi hukuman qishoosh, tentu hal ini akan dijadikan alat untuk melindungi diri bagi orang yang mau membunuh orang lain. Karena sesungguhnya hukuman yang paling dapat menghentikan adalah dibunuh, bukan diyat (tebusan). Karena diyat itu dirasa ringan bagi orang-orang yang memiliki harta, dan dirasa ringan pula bagi orang-orang faqir karena orang yang faqir itu dibebaskan untuk tidak membayar diyat lantaran kefaqiran mereka.


Maka apabila terbukti bahwa seseorang itu terbunuh lantaran perbuatan mereka semua, sebagaimana yang akan disebutkan oleh penulis. Karena menuntut qishoosh dari mereka adalah merupakan sebuah ketetapan yang menjadi tujuan syar’iy yang ditetapkan di dalam Al Qur’an. Oleh karena itu Alloh SAW menyerupakan orang yang membunuh satu orang dengan orang yang telah membunuh semua orang. Dan semoga Alloh SWT merahmati ‘Umar bin Al Khoth-thoob ra, betapa tajamnya pandangannya dan pemahamannya terhadap ketentuan-ketentuan syar’iy yang di dalamnya terdapat kemaslahatan diin (agama) pada manusia. Di dalam sebuah riwayat yang shohiih disebutkan bahwasanya ia membunuh tujuh orang lantaran mereka bekerja sama untuk membunuh satu orang. Dan ia mengatakan: Seandainya seluruh penduduk Shan’a mempunyai peran dalam pembunuhannya pasti akan kubunuh mereka semua. Riwayat ini disebutkan di dalam Al Muwath-tho’ dengan lebih panjang dari pada riwayat ini. Dan tidak ada sebuah riwayatpun yang menyebutkan ada sahabat yang menyelisihi pendapat ‘Umar dalam masalah ini. Dan sungguh aneh jika ada orang yang dipercaya yang menentang masalah ini namun ia berpendapat bahwa qishosh harus digugurkan pada kasus orang yang berada di bawah kekuasaan orang-orang yang berkuasa padahal masalah ini lebih lebih sepele bagi orang yang memutuskan perkara dari pada tali sandalnya.



Al Qurthubiy di dalam tafsirnya II/251 mengatakan: “’Umar ra telah membunuh tujuh orang dalam kasus terbunuhnya satu orang di Shan’a. Dan ia mengatakan: Seandainya seluruh penduduk Shan’a tersangkut dalam pembunuhan orang tesebut pasti akan kubunuh mereka semua. Dan ‘Aliy ra juga membunuh orang-orang Al Haruuriyyah pada kasus pembunuhan ‘Abdulloh bin Khobaab, karena sesungguhnya sebelumnya ia ragu-ragu untuk memerangi mereka sampai mereka membuat permasalahan, kemudian tatkala mereka menyembelih ‘Abdulloh bin Khobaab sebagaimana menyembelih kambing, lalu peristiwa itu disampaikan kepada ‘Aliy, ia mengatakan: Allohu akbar, serukanlah kepada mereka supaya mereka menyerahkan orang yang membunuh ‘Abdulloh bin Khobaab kepada kami. Lalu mereka menjawab: Kami semua yang membunuhnya, tiga kali. Maka ‘Aliy mengatakan kepada para sahabatnya: Hadapilah mereka. Kemudian tidak lama kemudian ‘Aliy dan para sahabatnya pun membunuh mereka. Dua hadits yang menceritakan kisah tersebut diriwayatkan oleh Ad Daaruquthniy di dalam Sunan nya.


Sedangkan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidziy, dari Abu Huroiroh, dari Rosululloh SAW, beliau bersabda:
لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ اْلأَرْضِ اشْتَرَكُوْا فِيْ دَمْ مُؤْمِنٍ لَأَكَبَّهُمُ اللهُ فِي النَّارِ
Seandainnya seluruh penghuni langit dan bumi bekerja sama dalam pembunuhan seorang mukmin pasti Alloh akan mencampakkan mereka semua ke dalam naar (neraka).
At Tirmidziy mengatakan tentang hadits ini: Hadits ini ghoriib. Selain itu seandainya sekelompok orang itu tahu bahwasanya jika mereka membunuh satu orang mereka tidak akan dibunuh tentu mereka akan melakukan kerjasama untuk membunuh orang-orang yang menjadi musuh mereka dengan cara saling bekerja sama dalam membunuh mereka. Dan tentu mereka akan melaksanakan keinginan mereka, padahal menjaga kaidah ini lebih utama dari pada menjaga lafadznya, walloohu a’lam.” Sampai di sini perkataan Al Qurthubiy.
Ibnu Taimiyyah di dalam Al Fataawaa XX/382 mengatakan: ‘Umar mengatakan; Seandainya seluruh penduduk Shan’a turut berperan di dalam pembunuhannya pasti akan kubunuh mereka semua (sebagai bentuk qishoosh), jika mereka semua turut membunuhnya secara langsung maka ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika sebagian mereka tidak berperan secara langsung akan tetapi ia juga mempunyai peran dalam pembunuhan, seperti orang yang mukroh (dipaksa) atau orang yang memberikan kesaksian palsu yang menarik kembali kesaksiannya sedangkan hakimnya adalah hakim yang dholim yang menarik kembali keputusannya, maka menurut mayoritas ulama’ mereka semua harus dihukum qishoosh. Sebagaimana ‘Aliy ra membunuh dua orang yang memberikan kesaksian terhadap seseorang bahwasanya orang tersebut telah mencuri sehingga orang yang dituduh tersebut dipotong tangannya, kemudian dua orang yang memberikan kesaksian palsu tersebut mencabut kembali kesaksiannya, dan mengatakan: Kami keliru. ‘Aliy mengatakan: Seandainya aku tahu bahwasanya kalian berdua sengaja pasti akan kupotong kedua tangan kalian. Maka ini menunjukkan bahwa pemotongan tangan sebagai balasan atas tangan dan juga qishoosh itu wajib dilaksanakan kepada orang yang memberikan kesaksian palsu.



Penulis Al Bahrur Roo-iq VIII/354 mengatakan: “Berkata (penulis) [… dan sekelompok orang dihukum bunuh (sebagai qishoosh) atas pembunuhan satu orang ...] hal ini berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwasanya ada tujuh orang penduduk Shan’a yang membunuh satu orang, maka mereka dibunuh oleh ‘Umar sebagai qishoosh untuk orang tersebut, dan ia mengatakan: Seandainya seluruh penduduk Shan’a mempunyai peran dalam pembunuhannya pasti mereka semua kubunuh. Selain itu, karena membunuh dengan cara menundukkan dan melaksanakan hukuman qishoosh itu adalah hukum syar’iy yang bertujuan untuk menggentarkan semua orang sebagaimana menggentarkan orang yang melakukannya secara sendirian, oleh karena itu hukum qishoosh diberlakukan terhadap mereka semua, dalam rangka untuk meraih tujuan yaitu menjaga kelestarian hidup, dan kalau tidak begitu tentu pintu qishoosh itu akan tertutup.”


As Sam’aaniy di dalam Qowaathi’ul Adillahti Fil Ushuul II/243 berkata: “Sebagian ulama’ ragu-ragu dalam menjatuhkan hukum qishoosh terhadap orang-orang yang ikut membantu di dalam pembunuhan. Sementara sebagian dari sahabat kami mengatakan bahwasanya membunuh orang-orang yang membantu pembunuhan terhadap satu orang itu keluar dari qiyaas, akan tetapi hal ini ditetapkan berdasarkan perkataan ‘Umar ra yang mengatakan: Seandainya seluruh penduduk Shan’a itu mempunyai andil di dalam pembunuhan pasti akan kubunuh mereka semua. Ia mengatakan: Sedangkan pendapat yang benar menurutku adalah bahwasanya orang-orang yang ikut membantu pembunuhan itu juga dibunuh berdasarkan kaidah qishoosh, dan tidaklah dihiraukan adanya beberapa orang tertentu yang dibebaskan dari pembunuhan, apabila lantaran digugurkannya hukuman qishoosh itu akan menyebabkan kekacauan yang nyata dan kerusakan yang besar.” Sampai di sini perkataannya.



Adapun yang dijadikan landasan oleh orang-orang yang berpendapat untuk membunuh orang yang melakukan pembunuhan secara langsung dan juga membunuh orang yang membantunya dengan cara memegangi (korban), adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ad Daaruquthniy dari Ibnu ‘Umar ra, ia dari Nabi SAW, beliau bersabda:
إِذَا أَمْسَكَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ وَقَتَلَهُ اْلآخَرُ يُقْتَلُ الَّذِيْ قَتَلَ وَيُحْبَسُ الَّذِيْ أَمْسَكَ
Apabila seseorang memegang orang lain, lalu ada orang lain lagi yang membunuh orang yang ia pegangi tersebut, maka orang yang membunuh tersebut dibunuh sedangkan orang yang memegangi tersebut dipenjara.


Hadits ini adalah mursal dan tidak dapat dijadikan dalil, sebagaimana yang dikatakan oleh Ash Shon’aaniy, dan ini diroojihkan oleh Ash Shon’aaniy.
Begitu pula pengqiyasan terhadap firman Alloh yang berbunyi:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
Dan telah kami tetapkan di dalamnya bahwasanya nyawa itu dibalas dengan nyawa.
Karena permasalahan ini adalah permasalahan penyamaan, sedangkan satu orang itu tidak bisa disamakan dengan sekelompok orang. Dan dicantumkannya permasalahan ini di sini tidaklah bertentangan dengan maqooshidusy syarii’ah (tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan di dalam syariat Islam). Walloohu a’lam.



Dengan demikian, jika orang yang menjadi penyebab terbunuhnya dirinya sendiri di tangan musuh dengan cara menceburkan diri ke dalam barisan mereka dengan niat ikhlas ingin meninggikan kalimatulloh, hal itu diperbolehkan dan dipuji oleh Syaari’ (Sang pembuat syariat), hal ini menunjukkan bahwasanya pujian dan pahala yang besar yang diberikan kepada orang yang menceburkan diri ke dalam barisan musuh itu tidak ada kaitannya dengan alat yang digunakan dalam membunuh atau bagaimana cara pembunuhan yang dilakukan. Karena tatkala Rosululloh SAW mengijinkan kepada ‘Auf bin ‘Afroo’, ‘Umair bin Al Hammaam dan Anas bin An Nadl-r (dalil no. 7, 14, 15) untuk menceburkan diri ke dalam barisan musuh, beliau tidak menanyakan kepada mereka cara dan keadaan mereka dalam menceburkan ke dalam barisan musuh, dan beliau tidak mensyaratkan kepada mereka apa-apa untuk melakukan aksi tersebut. Padahal di dalam sebuah kaidah dikatakan:
تَرْكُ الاسْتِفْصَالِ فِيْ مَقَامِ الاحْتِمَالِ يَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الْعُمُوْمِ فِي الْمَقَالِ
Tidak memperinci sebuah kasus yang mengandung beberapa penafsiran adalah sama kedudukannya dengan penjelasan yang bersifat umum.


Karena berapa banyak aksi yang terjadi pada jaman Rosululloh SAW, namun demikian tidak ada satu riwayatpun yang menyebutkan bahwa Rosululloh SAW menetapkan suatu syarat tertentu kepada kita dalam kasus seperti ini, yaitu aksi menceburkan diri dan melakukan nikaayah (membunuh atau melukai) terhadap musuh. Dan apabila melakukan aksi yang menyebabkan terbunuhnya diri sendiri untuk kepentingan kaum muslimin dan untuk meninggikan kalimatulloh, dengan cara menceburkan diri ke dalam barisan musuh dengan tanpa menggunakan pelindung itu diperbolehkan maka tidak diragukan lagi atas diperbolehkannya membunuh diri sendiri secara langsung jika hal itu dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar yang tidak dapat diraih kecuali dengan cara seperti itu. Karena orang yang membantu terjadinya pembunuhan itu kejahatannya sama dengan orang yang melakukan pembunuhan secara langsung, hanya saja nash-nash syar’iy mengecualikan seorang mujahid dari hukum asal ini dengan dalil-dalil yang khusus. Dengan demikian barang siapa yang dapat memahami bahwasanya hukum syariat itu menganggap sama antara orang yang membunuh secara langsung dengan orang yang ikut membantu pembunuhan, niscaya ia memahami bahwasanya mujahid (yang melakukan ‘amaliyyah istisyhaadiyyah-penerj.) itu tidak masuk ke dalam nash-nash umum (yang melarang bunuh diri) apabila tujuannya dalam membantu musuh untuk membunuh dirinya sendiri atau dalam membunuh dirinya sendiri secara langsung itu adalah untuk kepentingan diin (Islam).





DEFINISI AL MUNTAHIR (BUNUH DIRI)

Al Intihaar secara bahasa adalah: Bunuh diri, sebagai mana yang disebutkan di dalam Al Qoomuus Al Muhiith hal. 616.
Sedangkan secara bahasa adalah: seseorang yang membunuh dirinya sendiri secara sengaja lantaran tamak terhadap dunia atau harta, atau bunuh diri lantaran marah atau tidak sabar atau putus asa. Atau dengan kata lain setiap orang yang bunuh diri bukan karena motifasi diin (agama) yang diperbolehkan berdasarkan nash-nash syar’iy.
Perbuatan semacam ini tidak diperselisihkan dikalangan para ulama’ atas haramnya, dan bahwasanya pelakunya mendapatkan dosa besar dan berhak untuk masuk naar (neraka) baik secara kekal di dalamnya jika ia menghalalkan tindakannya, atau ia berada di sana tapi tidak kekal.
Alloh SWT berfirman:
وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلاَتَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرًا
Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Alloh itu Maha Penyayang kepada kalian. Dan barang siapa yang melakukannya dengan melampaui batas dan secara dholim maka akan Kami masukkan dia ke dalam naar (neraka), dan hal itu mudah bagi Alloh. (An Nisa’: 29-30)
Al Qurthubiy di dalam tafsirnya V/156 mengatakan: “ Firman Alloh yang berbunyi [.. janganlah kaliam membunuh diri kalian ..] ada satu permasalahan, sedangkan Al Hasan Al Bashriy membacanya [.. janganlah kalian banyak membunuh ..] dan para ahli tafsir sepakat bahwa yang dimaksud ayat ini adalah larangan bagi manusia untuk saling membunuh antara sebagian dengan sebagian yang lain, kemudian dari segi lafadhnya, ayat tersebut mencakup larangan untuk membunuh diri sendiri secara sengaja lantaran tamak terhadap dunia dan harta sehingga ia mengorbankan dirinya yang akhirnya mengakibatkan dirinya terbunuh. Dan juga mengandung pengertian janganlah kalian membunuh diri kalian ketika dalam keadaan cemas atau marah. Semua ini masuk dalam cakupan larangan yang terkandung dalam ayat tersebut. Dan ‘Amr bin Al ‘Aash berhujjah dengan ayat ini tatkala ia tidak mau mandi dengan air dingin ketika ia junub pada perang Dzaatus Salaasil lantaran ia khawatir dirinya akan mati jika ia mandi. Maka Rosulpun membenarkan pengambilan hujjah yang ia lakukan dan beliau pun tertawa di sisinya dan beliau tidak mengatakan apapun.” Sampai di sini perkataan Al Qurthubiy.
Di dalam Shohiih Al Bukhooriy dan Muslim disebutkan riwayat dari Jundab bin ‘Abdulloh ra, ia berkata: Rosululloh SAW bersabda:
كَانَ فِيْمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ بِهِ جُرْحٌ ، فَجَزعَ فَأَخَذَ سِكِّيْناً فَجَزَّ بِهَا يَدَهُ ، فَمَا رَقَأَ الدَّمُ حَتَّى مَاتَ ، قَالَ تَعَالَى : بَادَرَنِيْ عَبْدِيْ بِنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Dahulu sebelum kalian ada seseorang yang terluka, lalu ia tidak sabar maka ia pun mengambil sebilah pisau kemudian ia iris tangannya dengan pisau tersebut, maka darahpun terus mengalir sampai ia meninggal. Alloh berfirman: Ia mendahuluiku dengan nyawanya, maka Aku haramkan jannah (syurga) baginya.
Orang ini gelisah dan tidak sabar dengan lukanya, lalu ia lari dari kepedihan dan penderitaan yang ia derita. Maka iapun mendahului kematian dengan bunuh diri dengan tujuan supaya ia terbebas dari penderitaan dunia, maka balasannya adalah Alloh haramkan jannah (syurga) baginya. Namun hal ini diperselisihkan para ulama’ apakah ia diharamkan masuk jannah (syurga) untuk selamanya atau tidak.
Di dalam Shohiih Al Bukhooriy dan Muslim juga disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh ra, ia mengatakan: Rosululloh SAW bersabda:
َالَّذِيْ يَخْنِقُ نَفْسَهُ يَخْنِقُهَا فِي النَّارِ ، وَالَّذِيْ يَطْعَنُ نَفْسَهُ يَطْعَنُهَا فِي النَّارِ
Orang yang mencekik dirinya sendiri itu akan mencekiknya pula kelak di naar (neraka), dan barang siapa melukai dirinya ia kelak akan melukainya pula di dalam naar (neraka).
Dan hadits-hadits shohiih yang menjelaskan mengenai masalah ini banyak, bahkan di dalam syariat kita dilarang untuk melakukan sesuatu yang lebih ringan dari pada itu. Di dalam syariat, seseorang dilarang untuk berangan-angan untuk mati lantaran sebuah kesusahan yang menimpa dirinya. Maka jika berangan-angan untuk mati saja tidak diperbolehkan dan diharamkan lalu bagaimana dengan melakukan tindakan bunuh diri lantaran sebuah kesusahan yang menimpa dirinya?
Di dalam Shohiih Al Bukhooriy dan Muslim di sebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas ra, ia mengatakan: Rosululloh SAW bersabda:
لاَ يَتَمَنَيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ ، فَإِنْ كَانَ وَلاَ بُدَّ فَاعِلاً ، فَلْيَقُلْ : الَلَّهُمَّ أَحْيِنِيْ مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْراً لِيْ وَتَوَفَّنِيْ إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْراً لِيْ
Janganlah ada di antara kalian yang berangan-angan untuk mati lantaran penderitaan yang menimpa dirinya. Namun jika ia harus melakukannya maka hendaknya ia mengatakan: Yaa Alloh, hidupkanlah aku jika hidup itu lebih baik untukku dan matikanlah aku jika mati itu lebih baik untukku
Al Bukhooriy juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Huroiroh ra, ia mengatakan: Rosululloh SAW bersabda:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ ، إِمَّا مُحْسِناً فَلَعَلَّهُ يَزْدَادُ ، وَإِمَّا مُسِيْئاً فَلَعَلَّهُ يُسْتَعْتَبُ
Janganlah ada di antara kalian yang berangan-angan untuk mati, baik ketika beramal baik karena siapa tahu akan ditambah amal baiknya, atau ketika berbuat jelek karena bisa jadi ia akan dicela.
Semua nash yang mengharamkan bunuh diri atau berangan-angan untuk mati ini tergantung dengan sebab penderitaan atau gelisah atau tidak sabar, dan semua itu adalah merupakan bentuk sifat tamak terhadap dunia, dan bukan karena kepentingan diin (Islam) dan meninggikan kalimatulloh. Maka dalil-dalil yang bersifat umum ini tidak bisa dijadikan dalil untuk aksi menceburkan diri ke dalam barisan musuh secara sendirian yang mana aksi tersebut menjadi penyebab utama dirinya terbunuh. Karena dalil-dalil yang membolehkan aksi menceburkan diri ke dalam barisan musuh dengan tanpa pelindung dan dengan penuh keyakinan akan mati, yang telah kami paparkan sebelumnya pada awal pembahasan, mengeluarkan orang yang mengharapkan wajah Alloh dan kehidupan akherat serta meninggikan kalimatulloh dari larangan yang bersifat umum di dalam hadits-hadits yang melarang bunuh diri. Maka berbeda antara orang yang bunuh diri lantaran kepentingan dunia dengan orang yang menceburkan diri ke dalam barisan musuh dengan tujuan untuk meninggikan kalimatulloh dengan penuh keyakinan akan mati.
Oleh karena itu apakah adil jika kita katakan bahwa membunuh diri sendiri dengan tujuan untuk meninggikan kalimatulloh dan melakukan nikaayah (membunuh, melukai) terhadap musuh serta untuk menteror mereka, dengan niat ikhlas, itu sama dengan orang yang bunuh diri? Maha Suci Alloh, sungguh ini adalah sebuah kedustaan yang besar.
Permasalahan ini kami bahas di sini karena kami melihat bahwasanya faktor terkuat yang menjadikan orang-orang ragu-ragu untuk mengatakan bolehnya ‘amaliyyah istisyhaadiyyah itu adalah bahwasanya orang yang melakukan pembunuhan dalam aksi ‘amaliyyah istisyhaadiyyah itu adalah dirinya sendiri. Dan jika kita memahami manaath (sebab) diharamkannya bunuh diri atau berangan-angan untuk mati maka kita akan paham lemahnya alasan tersebut.
Maka kami katakan: Sesungguhnya Alloh SWT ketika mengharamkan bunuh diri itu adalah karena bunuh diri itu dilakukan lantaran kegelisahan dan tidak sabar terhadap bencana yang menimpanya, dan lebih mencintai dunia dari pada akherat. Dan semua ini muncul akibat tidak adanya atau lemahnya iman. Sedangkan orang yang melakukan ‘amaliyyah istisyhaadiyyah, apakah ia melakukannya lantaran hal-hal tersebut? Tentu tidak, bahkan semua itu tidak ada pada dirinya. Karena ia tidak melakukan ‘amaliyyah istisyhaadiyyah tersebut kecuali karena kekuatan imannya terhadap hal-hal yang ghoib, karena keyakinannya terhadap apa yang ada di sisi Alloh, dan karena cintanya terhadap Alloh, RosulNya SAW dan diin (agama) Nya. Dan hal lain yang menunjukkan bahwa manaath (sebab) diharamkannya bunuh diri itu adalah bukan karena tindakan bunuh diri itu sendiri, akan tetapi adalah karena didahului dengan tidak adanya atau lemahnya iman terhadap taqdir, adalah tindakan yang dilakukan oleh Ghulaam (dalil no. 4). Karena dia sendirilah yang membunuh dirinya sendiri. Dan Alloh sendiri memuji perbuatannya lantaran ia tidak melakukannya kecuali hanya karena mengharap apa yang berada di sisi Alloh dan dalam rangka membela diin (agama) Nya. Padahal semacam ini tidak akan dilakukan oleh orang yang tidak beriman kepada Alloh. Dan begitu pula Rosululloh SAW melarang berangan-angan untuk mati lantaran penderitaan yang diderita seseorang padahal beliau SAW sendiri telah berangan-angan untuk mati di jalan Alloh sebanyak tiga kali. Maka hal itu diperbolehkan karena beliau tidak mengangan-angankannya kecuali karena kesempurnaan imannya. Begitu pula sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam Shohiih Al Bukhooriy dan Shohiih Muslim dari Abu Huroiroh yang menyebutkan bahwasanya di akhir zaman kelak akan ada seseorang yang melewati sebuah kuburan lalu ia mengatakan: Duhai seandainya aku menggatikan tempatmu. Orang yang berangan-angan untuk mati semacam ini terpuji, karena ia tidak mengucapkan perkataan tersebut kecuali karena rusaknya kondisi jaman ketika itu. Dan dia tidak merasa menderita dengan keadaan tersebut kecuali karena hatinya dipenuhi dengan keimanan, sehingga iapun berangan-angan untuk mati. Maka hal itu diperbolehkan dan tidak termasuk ke dalam larangan berangan-angan untuk mati. Dan ini lah yang masyhur di kalangan sahabat. Sedangkan dalil-dalil yang menerangkan tentang manaath (yang menjadi sebab) diharamkannya bunuh diri itu banyak, dan kami tidak akan menyebutkannya secara panjang lebar.
Dengan demikian jelaslah dari dalil-dalil di atas bahwasanya manaath (yang menjadi sebab) diharamkannya bunuh diri atau berangan-angan untuk mati itu bukanlah tindakannya itu sendiri, akan tetapi adalah apa yang menyertainya yang berupa tidak adanya sama sekali atau lemahnya iman terhadap taqdir, sehingga jika manaath (yang menjadi sebab) ini hilang, yaitu tidak adanya iman terhadap taqdir, tatkala ia melakukan bunuh diri atau tatkala ia berangan-angan untuk mati, maka hal itu diperbolehkan jika ada suatu kepentingan atau keperluan. Sehingga tidak semua bunuh diri itu diharamkan, karena hukum diharamkannya bunuh diri itu tergantung dengan amalan hati, jika yang menyebabkan bunuh diri itu adalah lemahnya atau tidak adanya iman, maka tindakan tersebut hukumnya haram, namun jika yang menyebabkan bunuh diri itu adalah kuatnya iman atau keyakinannya terhadap Alloh, maka orang yang melakukan tindakan tersebut terpuji dan mendapatkan pahala.

KESIMPULAN PEMBAHASAN

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan ini adalah bahwasanya ‘Amaliyyah Istisyhaadiyyah itu disyariatkan dan pelakunya terpuji, dan dia lebih baik dari pada orang yang dibunuh oleh musuh di medan perang. Karena sesungguhnya derajat syuhadaa’ (orang-orang yang mati syahid) itu bertingkat-tingkat, sehingga orang yang terbunuh ketika menjadi bagian pemberi minum (di bagian belakang) tidak sebagaimana orang yang terbunuh di garis depan, dan juga tidak sama dengan orang yang menceburkan dirinya ke dalam barisan musuh dengan tanpa menggunakan pelindung, dan juga tidak sama dengan orang yang mengorbankan dirinya dan melakukan ‘amaliyyah istisyhaadiyyah yang dirinya hancur lebur akibat ledakan, dalam rangka untuk meninggikan kalimatulloh. Maka setiap mujahid itu derajatnya sesuai dengan kesungguhan dan jihad yang ia lakukan, kalau tidak demikian, maka apa bedanya orang yang bangkit menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran kepada seorang penguasa yang dholim lalu ia dibunuhnya. Apa bedanya orang yang semacam ini sehingga menjadi sayyidus syuhadaa’ (penghulunya orang-orang yang mati syahid) bersama Hamzah ra, selain hanya karena ia tidak mempunyai penolong selain Alloh, dan merasakan ketakutan serta ujian yang biasanya tidak didapatkan oleh mujahidin lainnya. Maka setiap mujahid itu derajatnya sesuai dengan bagaimana cara terbunuhnya ia, dan apa yang telah kami paparkan di depan merupakan penjelasan tentang masalah ini.
Kemudian kami telah jelaskan bahawasanya ‘amaliyyah istisyhaadiyyah itu merupakan aksi yang paling sedikit biaya dan kerugiannya di pihak kita, selain itu ‘amaliyyah istisyhaadiyyah pada jaman sekarang ini menjadi aksi yang paling efektif dalam menghadapi musuh. Karena alasan inilah kami berusaha membahas secara lebih detail dalam beberapa masalah, dan kami bersyukur kepada Alloh atas bimbinganNya kepada kami. Kami dan orang lain juga telah mendengar bahwasanya kebanyakan ulama’ kita pada jaman ini memperbolehkan aksi-aksi semacam ini, segala puji dan syukur hanya bagi Alloh. Telah keluar fatwa-fatwa mereka baik secara kolektif maupun secara pribadi-pribadi untuk ikhwan-ikhwan kita di Palestina, tatkala mereka membutuhkannya untuk melawan penjajah zionis. Dan sejauh yang kami baca fatwa tersebut telah mencapai lebih dari tigapuluh fatwa. Dan kami bersyukur kepada Alloh bahwasanya di dalam umat kita ini masih ada orang yang mengeluarkan fatwa yang dapat menggentarkan dan merugikan musuh, mengenai aksi-aksi semacam ini.
Kemudian kami katakan bahwasanya diperbolehkannya ‘amaliyyah istisyhaadiyyah itu adalah merupakan cabang dari diperbolehkannya aksi menceburkan diri ke dalam barisan musuh secara sendirian. Padahal menceburkan diri ke dalam barisan musuh secara sendirian itu tidak dipersilihkan lagi di kalangan ulama’ atas kebolehan dan keutamaannya, berdasarkan dalil-dalil yang berkenaan dengannya. Dari aksi menceburkan diri ke dalam barisan musuh secara sendirian ini, meskipun menurut perkiraan kemungkinan besar akan binasa, hukum ‘amaliyyah istisyhaadiyyah itu diambil. Apabila kasus yang dijadikan landasan itu diperbolehkan, maka cabangnyapun juga diperbolehkannya. Selain itu, aksi ini juga boleh dilakukan meskipun hanya sekedar mempunyai niat ikhlas saja, karena mujahid itu mempunyai tujuan untuk mendapatkan syahaadah (mati syahid). Namun harus dibedakan antara yang kami katakan diperbolehkan dengan yang kami katakan yang lebih utama. Akan tetapi lebih utamanya adalah hendaknya aksi semacam ini jangan dilakukan sampai memenuhi beberapa hal berikut;
Pertama: Ikhlas, mengharap wajah Alloh, dan hanya bertujuan untuk meninggikan kalimatulloh dan melaksanakan kewajiban jihad serta mengharapkan syahaadah (mati syahid). Dan ikhlas ini adalah satu-satunya syarat syah aksi semacam ini, sehingga jika syarat ini tidak terpenuhi maka perbuatan ini batal.
Kedua: Hendaknya menurut perkiraan mujahid yang akan melakukannya, pembunuhan musuh dan kehancuran yang akan ia lakukan itu tidak mungkin dilakukan dengan cara yang lain, yang dapat menjadikan dirinya selamat atau yang menurut perkiraan dirinya akan selamat.
Ketiga: Hendaknya menurut perkiraan mujahid yang akan melaksanakannya, bahwa aksi yang ia lakukan itu akan menimbulkan nikaayah (membunuh, melukai) pada musuh atau menggentarkan mereka atau menambah keberanian kaum muslimin untuk melawan musuh-musuh mereka.
Keempat: Mujahid yang hendak melaksanakan aksi tersebut haruslah meminta pendapat orang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman di dalam masalah perang, khususnya adalah pemimpin perang di daerahnya, karena bisa jadi aksinya tersebut akan mengacaukan sesuatu yang telah lama dipersiapkan oleh para mujahidin, lalu musuh menjadi tersadar.
Kelima: Aksi-aksi semacam ini hendaknya tidak dilakukan kecuali di dalam kondisi-kondisi peperangan, karena aksi-aksi semacam ini tidak dilakukan kecuali hanya untuk kepentingan para mujahidin dan untuk melawan musuh yang menyerang. Dan karena jika peperangan belum dikumandangkan maka kerugian yang akan menimpa orang-orang Islam akan lebih besar dari pada manfaat yang akan diperoleh sehingga aksi semacam ini harus ditinggalkan.
Namun barangsiapa yang tidak memenuhi persyaratan kecuali hanya ikhlas dan nikaayah (membunuh, melukai musuh) saja, maka perbuatannyapun tetap diperbolehkan hanya saja tidak lebih baik dari pada orang yang telah memenuhi semua syarat-syaratnya. Dan sesungguhnya syarat-syarat yang kami sebutkan di sini hanya syarat penyempurna saja supaya aksi tersebut dapat dilaksanakan dalam bentuk yang paling baik. Sehingga bagi orang yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut kecuali hanya ikhlas dan nikaayah saja, bukan berarti perbuatannya tersebut sia-sia dan bukan berarti dia tidak dikatakan syahid.
Dan para ulama’ menetapkan hukum aksi menceburkan diri ke dalam barisan musuh itu berdasarkan perkiraan yang paling kuat, sehingga barangsiapa mempunyai perkiraan bahwa dirinya akan terbunuh maka ia sama seperti orang yang yakin bahwa dirinya akan terbunuh, dan keduanya mempunyai hukum yang sama, karena menurut mereka tidak ada bedanya antara perkiraan kuat dengan keyakinan akan kematian dalam masalah ini.
Selain itu kita juga dapat simpulkan dari kajian ini bahwasanya seseorang yang membantu orang lain untuk membunuh dirinya itu sama dengan orang yang membunuh dirinya sendiri, dan juga sama dengan orang yang membatu musuh dalam membunuh dirinya dengan cara menceburkan diri ke dalam barisan mereka dengan tanpa menggunakan pelindung padahal dia yakin dengan perbuatannya itu ia akan terbunuh. Seandainya hal ini dilakukan bukan untuk jihad pasti mayoritas ulama’ akan menganggapnya telah bunuh diri, karena hukum orang yang membunuh dengan orang yang membantu pembunuhan itu sama, maka tidak ada bedanya antara orang yang membantu musuh untuk membunuh dirinya dengan cara menceburkan diri ke dalam barisan mereka tanpa menggunakan pelindung dengan orang yang membunuh dirinya sendiri dengan cara melakukan ‘amaliyyah istisyhaadiyyah, mereka itu hukumnya sama, akan tetapi karena kedua aksi tersebut dilaksanakan dalam rangka jihad dan untuk mencari ridlo Alloh, maka Allohpun tertawa dan ridlo kepada orang yang melakukan kedua aksi tersebut.
Dari kajian ini juga dapat kita simpulkan bahawasanya tangan siapa yang membunuh itu tidak dijadikan pertimbangan untuk menentukan seseorang itu mendapat status syahid, sama saja ia membunuh dirinya sendiri dengan meledakkannya atau karena senjatanya kembali kepada dirinya sendiri, atau ia dibunuh oleh kaum muslimin lantaran salah sasaran atau lantaran terpaksa, atau dia menunjukkan kepada musuhnya atau kepada kawan-kawannya bagaimana cara membunuh dirinya yang dilakukan untuk kepentingan diin (Islam), sebagaimana yang dilakukan oleh Ghulaam (pemuda) atau Ibnuz Zubair. Semua bentuk kasus tersebut sama dipandang dari sisi hukum dan pelakunya disebut syahid. Maka sebagian orang yang ragu-ragu untuk mengatakan diperbolehkannya aksi semacam ini lantaran perbedaan tangan yang melakukan pembunuhan, mereka tidak mempunyai alasan yang dibenarkan. Dengan demikian tidak ada pengaruhnya tangan siapa saja yang melakukan pembunuhan dalam ‘amaliyyah istisyhaadiyyah, akan tetapi aksi semacam ini diperbolehkan bahkan bisa jadi aksi semacam ini dalam keadaan tertentu hukumnya wajib. Dan aksi-aksi semacam ini hukumnya berkisar pada lima hukum takliifiy (wajib, sunnah, mubah, makruh dan harom) sebagaimana amalan-amalan lainnya, sesuai dengan kondisi orang yang melakukannya, kondisi yang ada di sekitarnya dan dampak yang ditimbulkannya.
Dan di dalam kajian ini juga telah kami terangkan bahwasanya tidak semua bunuh diri itu diharamkan, dan bahwasanya diharamkannya bunuh diri itu tidak tergantung pada pembunuhan itu sendiri, akan tetapi ia tergantung dengan sebab yang menjadi motifasinya. Maka orang yang membunuh dirinya sendiri lantaran lemah imannya atau lantaran hilang imannya maka ia disebut bunuh diri, sedangkan orang yang membunuh dirinya sendiri lantaran kekuatan imannya atau mengorbankan dirinya untuk diin (Islam) atau karena cinta kepada Alloh dan RosulNya SAW, maka orang yang semacam ini telah melaksanakan sebuah perintah sebagaimana yang dilakukan oleh Ghulaam (seorang pemuda) tatkala ia membunuh dirinya sendiri. Maka dari manaath (sebab) diharamkannya bunuh diri ini kita dapat memahami perbedaan antara dua kasus tersebut, dan kita dapat pahami lemahnya alasan orang yang ragu-ragu untuk mengatakan diperbolehkannya ‘amaliyyah istisyhaadiyyah dengan alasan orang yang melakukan ‘amaliyyah istisyhaadiyyah itu dia sendiri yang membunuh dirinya sendiri. Maka bagi orang yang telah memahami manaath (sebab) diharamkannya bunuh diri, niscaya ia akan mudah untuk memahami permasalahan ini dan untuk mengatakan boleh. Dan ini adalah pendapat yang benar, dan Alloh sajalah yang memberi petunjuk.

...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar